Monday, July 9, 2012

Cinta Buta, tanpa memiliki alasan untuk mencintai Indonesia..

1 Juli 2012

Hari ini saya melihat sendiri bagaimana perjuangan masyarakat Desa Jasa bertahan hidup.




Nama desa Jasa diberikan oleh pemerintah atas peranan masyarakat ditahun 1960an, ketika terjadi konfrontasi antara Indonesia dan Malaysia. Kala itu masyarakat membantu TNI tidak hanya sebagai tentara sukarelawan, tetapi juga membantu dalam penyuplaian logistik. Oleh karena itulah, desa ini dinamakan sebagai desa Jasa. Bahkan dulu, atas historikal tersebut, sempat dijanjikan bahwa Jasa akan dijadikan ibukota kecamatan, dan bukan Senaning.

Masyarakat Jasa Umumnya bekerja sebagai petani. Mereka menanam padi, tapi umumnya produk yang mereka hasilkan adalah Jahe, Terong asam dan sahang (lada). Uniknya, tanaman-tanaman ini bukanlah tanaman yang bisa ditanam pada tanah yang sama untuk berulang kali, kecuali lada.


Untuk jahe, diperlukan waktu 6-8 bulan untuk bisa panen. Karena tidak adanya pupuk dan susahnya mencari tanah yang subur, maka masyarakat harus membakar terlebih dahulu tanah yang akan ditanami bibit jahe. Untuk terong asam sendiri, hanya bisa panen 2 kali pada tanah yang sama, more than it, they have to find a new soil to plant. Masalah pupuk menjadi utama. Tidak ada subsidi pemerintah kepada para petani di desa Jasa, dan infrastruktur jalan yang rusak, membuat distribusi pupuk juga sulit. Satu2satunya pupuk yang bisa mereka peroleh, hanyalah ketika mereka berbelanja ke Malaysia. Jadi pupuk subsidi Malaysia, tapi yang menggunakan orang Indonesia.
Tidak heran jika semakin lama hutan akan semakin habis, bukan masalah ilegal logging karena masyarakat punya kesadaran besar untuk menjaga dari ilegal logging, tp pembakaran hutan untuk membuka ladang baru.

Semakin di dalam hutan, maka semakin bagus tingkat kesuburan, maka tidak heran jika melihat ladang-ladang berada di dalam hutan bukit. Seperti narasumber saya,pak Nyangga. Untuk sampai ke ladangnya, harus berjalan sekitar 1 setengah jam dengan kaki dan ladangnya berada di dalam bukit Bugau, hampir berada di tengah bukit. Saya mengikuti pak Nyangga ketika panen jahe dari 2 lobang yng siap panen, pak Nyangga hanya berhasil mendapatkan sekitar 4 kg. Jahe-jahenya termasuk cukup besar, dan kualitas bagus, karena semakin besar, maka semakin mahal harga jualnya di Malaysia. Sedangkan terong asam dan kebun ladanya masih belum berbuah.

4 kilogram bukanlah jumlah yang cukup untuk dijual ke malaysia. Perkilogramnya hanya dihargai sekitar 3,50 sampai 4RM, tergantung besarnya, setara denga 10-12 ribu rupiah, biasanya pak Nyangga baru akan pergi ke Malaysia bila mencapai minimal 15 kg, hingga dalam sehari bisa mendapatkan sekitar 40-50 RM, bagi saya ini tidak sebanding dengan ongkos dan resiko perjalanan ke malaysia.
Pagi hari tadi, kami mencoba untuk mengikuti jalur perjalanan desa Jasa-Malaysia yang digunakan masyarakat desa Jasa. Sebenarnya untuk ke ibukota kecamatan, Senaning, hanya diperlukan waktu sejam dengan menggunakan motor. Tapi kendalanya adalah tidak adanya pembeli pasti di Senaning, dan mahalnya ongkos ojek yang mencapai 150 ribu tiap perjalanannya.


Mulai pukul 6 pagi Pak Nyangga brsiap-siap berangkat dengan menyiapkan bekal dan menaruhnya rapi dalam tas rotan (tengkalang), yang didesain khusus untuk mengangkut beban berat. Bahkan bisa mengangkut hingga 50kg, tergantung dari kekuatan si orang yang memikulnya. Maybe for you backpackers, this kind of bag should be consider as a travel bag :p



Ternyata host kami selama di sini, pak Sukambali juga berencana untuk menjual lada hitamnya yang saat ini dihargai 16,5 ringgit perkilogramnya. Berat yang mencapai 46 kg, membuat pak Kambali tidak sanggup mengangkutnya seorang diri, akhirnya beliau pun menyewa jasa tukang pikul yang dihargai 1RM tiap kg yang diangkutnya. Pekerjaan ini pun menjadi salah satu pekerjaan lazim di tempat ini, karena kurangnya lahan pekerjaan yang bisa memberikan pemasukan kala menanti panen tiba.
Akhirnya kami pun berangkat pukul 7 pagi.

Sedari awal saya sudah menduga bahwa perjalanan ini akan berat. Menurut blog yang saya baca sebelumnya, mereka membutuhkan waktu skitar 3 jam untuk tiba di pasar Malaysia, namun itu untuk kecepatan masyarakat sini,nah kami kan orang kota..pasti lebih lama lah :p

Benar saja...



-pemandangan dari arah Malaysia menuju Desa Jasa-

Malaysia berada dibalik bukit Kulingkang. Saya tidak tahu berapa kilometer yang harus kami lalui, yang pasti medannya sangat berat untuk ukuran saya. Mendaki bukit, melewati hutan, dan menyebrang sungai, bahkan melintasi jurang hanya melalui sebatang kayu.

Awalnya rute kami memasuki ladang ilalang yang berada di balik lapangan bola. Ini adalah rute yang harus dilalui sebelum memasuki areal bukit perbatasan. Pada musim hujan atau pada saat debit air sungai banjir, kami bisa menggunakan kapal kayu dengan biaya 10ribu perpenumpang dan menghemat waktu skitar 15-20 menit, tapi karena air sedang surut jadinya kami berjalan kaki.




Singkat cerita, padang ilalang tersebut kami lewati dalam 45menit (kalo orang desa normal 30 menit). Di ladang ilalang beberapa kali kami melewati jembatan kecil yang hanya ditaruh sebuah papan ataupun 2 batang kayu kecil yang masing-masing berdiameter 5cm, atau 1 batang kayu yang berdiameter 10 cm. Di awal ini saya masih exited..


-melintasi sungai, melipat celana tidaklah berguna,karena kedalaman airnya mencapai pinggang-

Kemudian kami bertemu sungai yang menjadi pertanda memasuki areal bukit perbatasan. Tingginya mencapai 110 cm, mau ga mau ya celana mesti basah sampai ke pinggang . Kata bapaknya sih ntar jg kering di jalan, ya tetep aja jeroannya udah jamuran -_-“

Setelah menyeberang sungai, kami langsung menemui pendakian pertama.
Kami sempat berhenti baru sekitar setengah jam dari titik pertama, lalu kemudian melanjutkan perjalanan. Saya bersyukur saya masih bisa memasuki sebuah hutan yang masih bisa terbilang jauh dari tangan pemburu karena kearifan masyarakat lokal yang berhasil menjaganya, dan bukan karena jagaan aparat. Sinar matahari pun masih sulit tembus, akhirnya saya bisa merasakan hutan yang seperti ini, dimana pohonnya lebih tinggi dari lantai 5 kantor saya :D Pemberhentian kedua kami sebutnya dengan pemberhentian sinyal, karena hanya dititik ini kami bisa mendapatkan sinyal telpon dengan jelas, tanpa harus manjat bangku :D

Setelah berhenti selama 15 menit, kami pun melanjutkan perjalanan kami. Jalur pun semakin sulit. jalanan yang menanjak, dan medan yang licin arena tanahnya merupakan tanah merah. Tidak terbayang jika kami melalui medan ini pada musim hujan, pasti udah sliding terus..tapi inilah yang harus dilalui warga tiap mau menjual hasil panen dan mau berbelanja kebutuhan sehari-hari.
Lalu kami berhenti untuk makan pagi pada pukul 10.00 WIB dan ini belum sampe setengah perjalanan -_-“



Makan ini cukup menghabiskan waktu karena mencapai setengah jam lebih. Kemudian kami melanjutan perjalanan. Saya ketepu, kata pak Nyangga jalurya semakin ringan karena datar dan tidak ada tanjakan, ternyata tanjakannya ga ada ujungnya x_x


menurut BPP (Badan Pengembang Perbatasan), ini adalah tapal type d, makanya kecil..

Singkat cerita akhirnya kami sampai di tapal perbatasan. Tapalnya hanya semen, dengan ukuran permukaan persegi sekitar 8-10 cm dan tinggi palingan ga sampe setengah meter. Ibarat tapal gas di trotoar DKI Jakarta hanya lebih tinggi sedikit. Dengan tulisan Mal dan IDN. Kalo emang niat jahat, bisa dengan mudahnya digeser.



Setelah memasuki Malaysia, jalur menjadi semakin susah. Menuruni bukit yang sangat terjal. Saya lebih sering turun dengan duduk, selain karena sudah habis stamina, lebih aman agar tidak tergelincir, karena seklai jatuh resiko terkecil adalah patah-patah tulang.

Jembatan yang paling saya ingat adalah jembatan sepanjang 15 meter di atas ketinggian 8 meter. Batang pohon kayu dengan diameter 1m digunakan sebagai titian. Dan berhubung batang kayunya lumutan dan licin, jadi yang bisa digunakan untuk menapak hanya selebar 10cm dan tidak ada pegangan x_x. Tapi ternyata ga susah kok dilaluinya ~(˘.˘~) ~( ˘.˘ )~ (~˘.˘)~

Theenn beberapa lama kemudian akhirnya kami tiba di kebun kelapa sawit, yang sudah bukan areal bukit lagi, tapi tetep menurun. awalnya masih susah apalagi licin banget. Dari kebun kelapa sawit, kami harus berjalan sejauh 2km untuk ke jalan raya, nanti di jalan raya akan ada mobil dari toke warung yang menjemput kami.


Ini gambaran jalan kampung di depan kebun kelapa sawit

Dari tempat kami dijemput, hanya sekitar 2-3 km jaraknya, dan hanya 3 menit saja. Jalannya? Muluuuuuuussssss!!! Bahkan lebih mulus ketimbang di jalan Gatsu Jakarta, dan ini daerah perbatasannya Malaysia loh. Tapi yang bikin saya miris adalah ketika pembicaraan singakt saya sama si kokoh
Saya: “jalannya cantik ya koh”
Kokoh: “ ah ini jelek, yang cantik itu yang di Kuching sana”
Saya: (dalam hati, ini aja jelek apalagi dia liat jalan Senaning-jasa) “memangnya sudah sejak kapan jalannya seperti ini koh?”
Kokoh: “ah jalan ini sudah sejak beberapa puluh tahun yang lalu..”
Damn! Anda terjemahkan sajalah sendiri kenapa saya bilang miris...


inilah harga jual kembali jahe-jahe itu, bahkan sekilonya mencapai 8RM


Ini toko tempat mereka menjual hasil taninya..

Saya sempat bertanya kepada cici toko.kenapa mereka sangat berminat pada hasil ladang Desa Jasa? Mereka bilang karena produknya lebih bagus ketimbang hasil tanah mereka, bahkan mereka rela menjemput karena mereka takut barangnya diambil oleh toko saingan lainnya. Produk tanpa campur tangan pemerintah. Tapi pasti dengan bangganya that god damn government will say “oh ya..produk Indonesia memang kualitas unggul” padahal ga ada jasa mereka sama sekali. Not even supply pupuk!!!



Hanya kurang lebih 2 jam saja kami di pasar, untuk menyegarkan diri dan makan siang. Kemudian kami diantar kembali ke tempat kami dijemput. Dan siap-siaplah untuk perjalanan pulang -_-“
Kali ini saya melakukan perjalanan sambil mendengarkan musik. And it helps! I feel less tired this time. Sayangnya kenapa lagu di songlist saya lagunya galau semua ya...-__-“
Kali ini kami pulangnya ngebut, karena tidak mau berlama-lama berada di dalam hutan tanpa matahari. Pemberhentian pun hanya 3 kali saja. Terutama pada pemberhentian sinyal :p tapi berangkat sama mas Aji yang rajin ngabarin bininya, jadi bikin saya rajin juga ngabarin ayah dan mamak saya.dont ask me about my spouse..
Jika yang tadinya kami masuk ke geng 6 jam, untuk pulang kali ini kami masuk ke dalam geng 4 jam!!! Yeay! Dan kami termasuk tercepat dri semua tamu yang pernah nyoba!! B-) hohoho *sombong*
Akhirnya kami sampai rumah sekitar pukul 8 malam..phiuhhhh...
Cape, menyenangkan, pegal-pegal, luka-luka,tapi semoga berat badan berkurang, dan yang terpenting adalah kami merasakan apa rasanya hidup di garis depan..bagian yang seharusnya menjadi benteng dari sebuah kerajaan atau negara, tapi justru bagian yang paling lemah dari negara ini. Desa Jasa hanyalah salah satu dari gambaran umum daerah perbatasan di negeri ini....saya bersyukur saya berada di TV dan Program yang bisa memberikan saya kesempatan untuk mengalami hal ini..
“seumur-umur kami tidak pernah merasakan peranan negara. Berpuluh-puluh tahun tidak pernah kami rasakan yang namanya merdeka...” –Nyangga, warga Desa Jasa-
Kemerdekaan milik semua. Jika tidak ada perbedaan saat penjajahan dan saat merdeka, apa gunanya kemerdekaan itu? Apa gunanya pemerintahan itu? Apa gunanya mempertahanan nasionalitas sebagai orang Indonesia? Sebandingkah menjadi WNI dengan kebutuhan perut? Ternyata tidak cukup Timor Timur, Pulau Sipadan dan Pulau ligitan dan budaya-budaya kita yang diambil tetangga kita, mungkin akan lebih berasa ketika bangku kekuasaan mereka yang diambil.

-Mempertanyakan, masih adakah gunanya pemerintah Indonesia?-
-Iyuth Pakpahan-

Thursday, July 5, 2012

28 juni 2012

Hari pertama di kota Kathulistiwa.

Dengan kondisi yang belum tidur semalaman saya berangkat ke pulau Borneo, dan mendarat dengan selamat di kota Khatuistiwa ini. Setibanya di Pontianak, saya tidak berfoto,karena tidak ada objek yang bisa dijadikan referensi atas kota yang kaya akan sumber daya alamnya ini.

Bandara terletak di pinggiran kota, dan membutuhkan sekitar setengah jam untuk mencapai pusat kota. Setibanya pukul 9 pagi, kami langsung bergerak menuju jalan hijas untuk sarapan. Ada warung pojokan yang dikenal dengan warung hijas. Seperti food court, hanya berbentuk seperti kedai dan berada persis di pojokan jalan. Dijual aneka makanan seperti soto lamongan, gado-gado surabaya, nasi kuning, nasi uduk, sate ayam (yang pake daun bawang), pisang goreng khas pontianak dengan segala macam jenis rasa (keju, srikaya,coklat, dll) dan aneka minuman.

Kamipun sepakat mencoba nasi kuning, karena merasa makanan inilah yang rasanya paling tidak mengecewakan :p

Setelah mengisi tenaga, kamipun berangkat ke jalan sudarso untuk bertemu narasumber-narasumber hebat kami. Di sana kami bertemu kawan baru yang bisa langsung akrab seperti kawan lama. Bang Deni, bang andrian dan bang Muhlis. 3 orang luar biasa yang mengabdikan diri untuk mencari berita, dan membagikn apa yang mereka dapatkan kepada masyarakat luas.

Di sini kami berbicara mengenai desa Jasa, yang terletak di dalam kecamatan Ketunggau Hulu, kabupaten Sintang. Cerita di desa ini hampir sama dengan cerita di daerah perbatasan lainnya,dimana tidak merasakan adanya fungsi pemerintah bagi mereka ( well who think so either sih)..tapi kalo merasakan apa yang mereka alami, sebenarnya miris dan sebuah hal yang memalukan untuk berani menyebut mereka sebagai bagian dari NKRI. Bagaimana tidak, pemerintah saja baru memberikan bendera merah putih di tahun 2008, itupun karena trauma atas sipadan dan ligitan. Disinilah saya baru merasakan benar, bahwa bukan salah Malaysia kalau semakin lama semakin banyak wilayah Indonesia yang dicaplok.

Hampir seluruh lini kehiupan mereka bergantung kepada malaysia. Meskipun hasil bumi mereka dihargai lebih rendah dari indonesia, namun mengingat ongkos dan jarak yang harus ditempuh, mereka lebih memilih untuk menjualnya ke Malaysia. Padahal untuk menyebrang ke negeri tetangga, mereka harus berjalan kaki selama 3-4 jam,dan itu lebih tepatnya dikatakan sebagai pendakian, dan bukan jalan kaki. Tidak hanya untuk berjualan dan berbelanja kebutuhan sehari-hari, tetapi untuk berobat pun masyarakat desa jasa lebih memilih untuk melakukan trek itu. Bayangkan, udah sakit, harus mendaki pula...

Desa Jasa sebenarnya berasal dari fungsi mereka di jaman konfrontasi indonesia melawan malaysia di tahun 1960 awal. Desa ini dijadikan sebagai tempat pemasok kebutuhan para tentara di perbatasan, dan banyak pula penduduknya yang diberdayakan sebagai tentara sukarela. Oleh karena loyalitas inilahmereka dinamakan desa jasa, bahkan mereka pun sempat dijanjikan akan menjadi ibukota kecamatan, dan bukan senaning seperti sekarang ini. Tapi kemudian loyalitas masyarakat hanya dibayar dengan ucapan terimakasih saja..

Kecewa pasti...kesal? sudah tidak bisa lagi diungkapkan dengan kata-kata..
Saya saja sebagai pendatang yang mendengar hal itu semakin sebal..lalu kemudian berkata, jangankan yang jauh di perbatasan, yang tinggal di cikeasa aja ga jauh beda..

Kemudian semkain bertanya-tanya,apa sih fungsi dari pemerintah indonesia selain menggerogoti APBN untuk membangun pulau Jawa dan keluarga pejabat? Selain merampok daerah kaya seperti Borneo ini dan membagikannya kepada keluarga pejabat dan pengusaha hitam?

Nah kan jadi marah-marah..

Yasudahlah, itu semuakan masih baru katanya...besok kita akan lihat langsung di lapangan bagaimana kondisinya..

Night all..